Pair of Vintage Old School Fru
Ini tentang Sang Motivator
tebaikku beberapa bulan terakhir
lalu. Mungkin tak adil baginya saat
harus ku katakan kata ini "ukhty,
jika engkau benar mencintaiku,
tinggalkan aku!". Itulah deretan
kata yang kusaksikan
menderaikan air matanya, tepat
pada hari dimana perjuanganku
yang ditopang oleh semangat dan
dukungan penuh olehnya
terbayarkan dengan keberhasilan.
Kedengaran aku tak punya balas
budi, atau di ibaratkan "air susu
yang disuguhkannya, kubalas
dengan air tuba". Jelas
kedengaran sangat jahat jika
melihat hanya dari satu titik saja.
Tapi aku pun miliki alasan yang ku
yakini dapat perlahan dia
mengerti mengapa ku ucapkan
kalimat itu. Pertemuan
dengannya beberapa bulan yang
lalu sangat tak kusangka akan
sejauh ini. Kami kuliah di PTS yang
sama dan fakultas yang sama. Di
sini aku adalah orang bodoh yang
nekad, ketika mulai mengajukan
judul skripsi pada semester tujuh
yang lalu, aku berani menantang
kebodohan untuk kutaklukkan
dan kuhapuskan dari alur cerita
hidupku. Beberapa orang
menawarkan diri untuk menyusun
skripsi yang akan kuajukan,
bahkan dari pihak dosen
sekalipun, namun lancang
kukatan pada mereka "maaf pak!
Saya mau sarjana, bukan
disarjanakan". Perkataan yang
sangat berani bagi seseorang
yang tak tahu apa-apa. Saat itu
bisa di bilang aku masih dalam
fase hidup yang baru. Aku
berlatar belakang dari masa lalu
yang sangat suram, mantan
pemakai dan pecandu Narkoba.
Tentunya juga mahasiswa yang
banyak masalah dan tak pernah
peduli dengan urusan kuliah atau
urusan kampus apa pun. Namun
sebuah kenyataan drastis
mengubah hidupku, saat ayah
terbaring lumpuh. Keluargaku
yang dahulunya serba
berkecukupan tiba-tiba down, dan
sempat betah pada level ekonomi
yang kekurangan. Dunia
menyentak membangunkanku.
Dan mulai kujalani hidup yang lain
dan tak pernah kurasakan
sebelumnya. Mulai kutata kembali
hidupku dengan keadaan yang
terhimpit, benahi nilai-nilai error
yang dahulu kuperoleh dari dosen,
hingga harus kutambahkan satu
semester lagi hanya untuk
mengulang mata kuliah. Skripsi
jadi saksi perjuangan yang patut
kubanggakan pada anak-anakku
saat berkeluarga nanti. Ini adalah
puncak perjuangan terkeras yang
pernah kujalani di kampus. Betapa
tidak, aku yang tak miliki
pengetahuan apa-apa sekarang
harus berjuang sendiri. Konsultasi
pada dosen pembimbing pun
sangat lama dan menguras
kesabaran dan ketahanan
mentalku. Cukup lama
konsultasinya, delapan bulan
kuhabiskan hanya untuk
menuntaskan proposal, seminar,
skripsi dan ujian. Karena aku
memang dasarnya tidak tahu
apa-apa, dan sangat kebetulan
dosen pembimbingku juga dosen
paling kritis dan di juluki si Killer
oleh mahasiswa. Di sini iman,
mental, prinsip, dan kesabaranku
benar-benar di uji. Tak jarang aku
mengeluh, bahkan terkadang air
mata jadi pengiring doa-doaku
setiap tak mampu ku tahan
beban mental itu. Saat harus
kuulang lagi lembaran-lembaran
proposal yang menurut
pembimbing salah. Sementara
teman-temanku yang lain telah
lulus ujian. Beberapa bulan
kejadian ini terulang, hingga tiba
suatu hari saat proposalku
ditolak lagi. Aku duduk di ruangan
tunggu untuk sejenak
memulihkan keadaan hati, putus
asa tergambar jelas di wajah. Lalu
seorang sosok akhwat dengan
jilbab selengan menyapa dari
kursi sebelah. "ada apa akhy?
Proposalnya ditolak lagi ya?". Ku
angkat wajah sejenak lalu
tertunduk lagi "iya!" dengan suara
yang cuek. "dosen memang kayak
gitu akhy, memang senangnya
nguji mentalnya kita, saya juga
sampai sekarang masih selalu
ditolak". Katanya meyakinkan,
namun aku membalas hanya
dengan senyum simpul lalu
melihat kearah lain. "kalau akhy
mau, kebetulan kakak lelaki saya
biasa ngasih bimbingan skripsi.
Tempatnya dekat kok dari rumah
anda". Aku mulai heran dengan
penuturannya "dekat? Memang
anda tau rumah saya?" / "iya!
Akhy anaknya pak Arham kan?
Kebetulan kita ini tetanggaan.
Rumah saya jaraknya cuma tiga
rumah dari rumah anda".
Ternyata dia salah satu tetangga
yang tak kukenal karena sifat
individualku dahulu. Bermula dari
waktu itu hingga dia
mengenalkanku pada kakaknya.
Kami dan beberapa orang teman
rutin mengikuti bimbingan skripsi
dua kali seminggu di rumah
kakaknya. Jalan yang kutempuh
di urusan skripsi sejak saat itu
mulai berjalan cukup baik, meski
masih terkadang ada beberapa
masalah tapi selalu bisa diatasi.
Kegiatan bimbingan skripsi juga
terkadang jadi ajang curhat-
curhatan bagi teman-teman
tentang bagian yang di
permasalahkan oleh dosen.
Akupun tak lepas dari kebiasaan
itu, setiap ada masalah yang
serasa tak mampu kuatasi, selalu
ku bicarakan pada kakaknya yang
beriku bimbingan. Namun justru
dialah yang selalu berikan solusi
dan motivasi terbaik untuk
keluhannku. Lambat-laun aku
mulai terbiasa dengan kata-kata
motivasinya yang seolah beri
semangat baru untukku. Tiba
saatnya ujian dan ternyata hasil
ujian justru lebih dari yang aku
harapkan. Aku jadi mahasiswa
dengan nilai hasil ujian skripsi
tertinggi di fakultasku.
Alhamdulillah perjuangan beratku
selama delapan bulan benar-
benar kurasakan hasilnya. Tentu
saja ini tidak lepas dari doa-doa
orang tuaku, bimbingan kakaknya
dan juga motivasi-motivasi yang
selalu dia berikan. Selepas
pelihatkan hasil itu pada orang
tuaku, aku langsung ke rumah
kakaknya yang selama ini dengan
sabar beriku bimbingan. Kebetulan
dia juga sedang berada di sana,
jadi sekalian saja kuucapkan
terima kasih padanya. "ukhty,
makasih atas semuanya ya!
Makasih untuk tawarannya
dahulu, makasih untuk motivasi
dan solusi-solusi yang ukhty
berikan. Tanpa itu semua,
mungkin saya tak akan seperti
sekarang". Dengan senyum dia
membalas "iya akhy, sama-sama!
Selamat untuk keberhasilannya
ya!" / "iya ukh..". Selepas itu
semua, kembali kulanjutkan hari-
hariku dengan beban skripsi yang
telah selesai. Kembali kufokuskan
diri pada pekerjaanku selama ini,
pekerjaan yang telah berikan
kesempatan untuk memenuhi
kebutuhan kuliahku dan kuliah
adikku, memenuhi kebutuhan
keluarga, dan bahkan masih ada
lebihnya untuk ditabung. Memang
secara materi kini keluargaku
sudah mulai pulih, aku bekerja
pada sebuah perusahaan
eksport-import dengan posisi
yang cukup baik. Tentu saja
karena perusahaan itu milik
teman ayahku. Dari sana aku
mulai belajar jadi tulang punggung
keluarga. Perannya sebagai
motivator bagiku tidak sebatas
pada skripsi saja, namun kini
telah berlanjut pada pekerjaan.
Kini dia masih selalu mengirimkan
pesan-pesan motivasi ke hp ku.
Pesan-pesan yang selalu kubalas
dengan ucapan terima kasih,
selain aku tak mampu merangkai
kata-kata indah seperti dia, aku
juga tetap menjaga agar
hubungan pertemanan itu tetap
dalam batas yang sewajarnya.
Lama kelamaan aku mulai
merasa aneh dengan
perhatiannya yang menurutku
berlebihan. Aku takut jika suatu
hari akan tumbuh perasaan lain
antara kami. Lalu untuk menekan
kemungkinan itu, mulai ku buat-
buat alasan agar frekuensi
pesan-pesannya berkurang.
Bukan maksud menghindari tapi
aku hanya takut pada berbagai
kemungkinan. Kuminta agar dia
tak sering-sering SMS ke hp ku
dengan alasan hp ini sering di
bawa oleh adikku. Awalnya aku
mulai merasa lega saat tak ada
pesan darinya. Aku pikir ini yang
terbaik buat kami. Tapi lama-
kelamaan tanpa sadar aku mulai
merasa risih dengan keadaan itu,
bahkan jujur saja aku mulai
merasa kehilangan. Iya benar! Aku
merasa kehilangan. Sesuatu yang
tak sewajarnya kurasakan.
Ternyata aku terlambat
menghindari perasaan itu,
sebenarnya dia telah tumbuh tapi
kupikir baru akan menyemai
benih. "Astagfirullah, ya Rabb
ampuni aku". Benar, terkadang
cinta baru akan terasa saat saat
kita kehilangan. Sejak saat itu aku
mulai kehilangan kontak
komunikasi dengannya. Beberapa
kali tak sanggup kukendalikan
perasaan untuk menghubunginya,
tapi jika hal-hal itu mulai kuat
mencengkram hatiku lagi, selalu
kusibukkan diri dengan pekerjaan.
Berusaha hapuskan bayang-
bayangnya dalam diriku. Bukan ku
mengingkari cinta, tapi aku tak
ingin mengubah cinta ini menjadi
bencana buat kami, buat aku dan
dirinya. Lama kutahan perasaan
itu, hingga suatu hari kakaknya
menelphonku, memintaku untuk
bertemu di sela-sela jam istirahat
kerja. Permintaannya ku iyakan,
dan kami bertemu di resto depan
kantorku. Kami berbicara dengan
suasana yang cukup santai,
namun ternyata yang kakaknya
bicarakan justru hal yang serius.
"begini dek! Kemarin itu, ada anak
temannya abi yang mau ngelamar
Byla". Reflek wajahku memerah,
ku rasakan dalam hatiku seperti
gelas yang jatuh ke lantai. Namun
ku tanggapi dengan mengingkari
suasana hati, membuat
semuanya seolah biasa-biasa
saja. "oh! Jadi Byla mau nikah ya
kak? Wah.. Aku nitip ucapan
selamat buat dia ya kak!". Lalu
kakaknya menepis ucapan
selamat munafikku, "dek, justru
karena itu kakak hari ini minta
waktu kamu. Kakak mau bicara
tentang ini, kakak ke sini bukan
mau ngasih undangan ke kamu
dek, tapi ada hal lain". Wajahku
berubah jadi bingung, "ada apa
kak? Kedengarannya serius
deeh.." / "iya dek ini serius, kamu
dengar dulu. Jadi gini, kemarin itu
Byla gak ngasih jawaban apa-apa.
Dia cuma diam saat dimintai
pendapat. Kami semua bingung,
jadi kakak dekatin dia. Lalu dia
bicarain ini sama kakak". Selepas
meneguk jus kegemaranku
"emang dia bicara apa kak?".
Kakaknya menatap ke arahku,
lalu berkata "sebenarnya Byla itu
selama ini suka sama kamu dek,
dia berharap yang datang
melamar dia itu adalah kamu".
Mendengar perkataan kakaknya
aku hanya terdiam, beberapa
lama aku bisu menatap kakaknya.
Kakaknya berusaha memulihkan
tingkahku "dek, kakak tau kamu
akan kaget dengar ini. Tapi
sekarang Byla minta agar kamu
beri dia keputusan, apa dia
nerima lamaran itu atau gimana".
Bergegas kakaknya akan pergi,
lalu ku katakan "kak, beri aku
kesempatan untuk berpikir ya!
Aku juga izin ma kakak, aku mau
ketemu Byla minggu esok di
rumah kakak, tempat bimbingan
skripsi dulu!". Kakaknya
mengangguk "iya dek, boleh! Kalau
gitu kakak duluan ya! Kakak mau
jemput anak kakak di sekolah
dulu, Assalamu' Alaikum". Aku pun
menanggapi "iya kak,
Waalikumussalam." Pikiran-
perasaanku kacau, kini kenyataan
membenarkan yang telah
kutakutkan dahulu. Aku takut
benih cinta itu tumbuh saat
rentetan pesan-pesan motivasi
darinya menenangkanku, tapi aku
tak sadar ternyata cinta itu telah
ada sebelum semuanya ku takuti.
Aku takut jika cinta tumbuh
dalam hati kami yang justru buat
kami lancang menantang takdir,
tapi ternyata aku tak sadar rasa
takutku datang setelah aku
teduh bernaun di bawah lebat
daun-daunnya. Kujaga hamparan
hati agar cinta tak membenih di
sana, setiap saat ku jaga, tanpa
ku sadar cintalah yang telah
menaungiku saat menjaga.
Setelah pertemuanku dengan
kakaknya siang itu, hariku
dipenuhi dengan kebimbangan,
apa aku akan bertahan untuk
melamarnya? Sedang aku pun
menanggung amanah yang masih
panjang selama adik
perempuanku masih kuliah. Jika
aku telah berkeluarga, lalu siapa
yang akan membiayai kuliah
adikku? Atau bahkan kebutuhan
keluargaku. Aku telah janji pada
Ibu dan diriku sendiri dahulu, aku
tak akan menikah sebelum kuliah
adikku selesai. Aku tak akan
biarkan dia juga merasakan
kerasnya perjuangan hidup yang
tak pernah sekalipun dia rasakan
selama ini. Aku hanya
mengajarkannya untuk taat pada
agama, bukan mencari makan di
ganasnya hidup. Tapi jika aku
membiarkan Byla menerima
lamaran orang itu, artinya aku
biarkan granat yang telah cinta
tanamkan dalam hatinya
meledak, bahkan yang telah
tumbuh dalam hatiku harus
kucabut akar-akarnya yang telah
menjalar dalam nadi.
Astagfirullah, ya Rabb beri
hambamu petunjuk". Itu lantunan
doa setelah shalat subuh pada
hari akan kutemui Byla di rumah
kakaknya. Di ruangan itu, dengan
kakaknya yang berada tak jauh
dari kami, sebuah keputusan
hidup ku pilih. Tak berani ku tatap
wajahnya sekali pun, aku tak ingin
kami terjerumus dosa dari
pandangan dan aku juga takut
melihatnya untuk terakhir kali.
Pelan suara itu ku alunkan, nada
bergetar, dan tersendat-sendat.
"Ukhty, terima kasih untuk
semua yang ukhty telah berikan
selama ini, aku bersyukur hampir
setahun yang lalu Allah
pertemukan saya dengan ukhty
di ruang tunggu dosen, saat itu
saya benar berada dalam
keadaan yang sangat terhimpit,
lalu Allah kirimkan bantuannya
melalui kebaikan ukhty. Ukhty
adalah sosok motivator terbaik
bagi saya, tapi ukh.. Saat masa-
masa sulit itu berlalu, aku tak
ingin jika kita justru berbalik arah
ke hal yang di benci Allah. Memang
benar ketika badai hidup berani ku
terjang, aku bernaun di bawah
lindungannya, tapi ukh.. Ketika
badai telah berlalu dan mentari
telah menerangi lagi, berlindung
terus-terusan di bawahnya akan
buat saya berjalan di bayangan
gelap, saya sudah dengar
semuanya dari kak Nabil kemarin.
Tapi saya belum siap ukh...
Perjalanan hidup saya masih
terlalu panjang untuk sampai ke
fase itu, maaf. Ukhty, jika engkau
benar mencintaiku, tinggalkan
aku!". Lepas mengatakan deretan
kalimat itu, terasa sesuatu
sedang dicabut paksa dalam
hatiku, sakit terampas. Namun,
inilah yang terbaik. Di sana
kusaksikan air matanya mengalir
dalam diam, membasahi gamis
pink yang ia kenakannya, banjiri
hamparan hijau tempat cinta
bertahta, hingga kekarnya pun
tumbang dan hanyut pada
derasnya arus kenangan. Ukhty,
karena kusadar telah
mencintaimu, aku tak akan
pernah ungkap rasaku, karena
sungguh ku tak ingin menahan
jodohmu dalam ketidak pastian
hidup. Maka ku biarkan engkau
pergi bersama yang telah Allah
pilihkan untuk mengimami
duniamu. Aku tahu ini akan sulit
bagimu, bahkan sangat berat
bagiku juga. Tapi yakinlah! seiring
erosi waktu daratan perasaan itu
akan mendangkal dan akhirnya
tenggelam dalam endapan masa
lalu. [Teruntuk dirimu, Sang
Motivator terbaikku Kiriman
tulisan dari : AMI Nb :